Sayangnya ketika artikel ini ditayangkan, pendaftaran santri baru Pesantren Tebuireng tahun akademik 2021/2022 sudah ditutup pada tanggal 31 Desember 2020 kemarin. Untuk tahun ajaran 2021/2022, berdasarkan informasi di situs resminya, Pesantren Tebuireng memang cuma membuka pendaftaran satu gelombang dan dilakukan secara online.
PERATURAN PONDOK PESANTREN Pondok Pesantren Lirboyo kediri Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam yang melembaga di Indonesia, dimana kyai dan santri hidup bersama dalam suatu asrama yang memiliki bilik-bilik kamar sebagai ciri-ciri esensialnya dengan berdasarkan nilai-nilai agama Islam. pondok pesantren hingga kini masih berperan penting dalam tiga hal, yaitu Pertama Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Kedua Pondok Pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu dan pengetahuan khususnya agama Islam. Ketiga Pondok Pesantren sebagai transformator, motivator dan inovator. Mengingat peran pesantren yang begitu penting serta besarnya kontribusi pesantren dalam membangun ilmu pengetahuan agama, karakter dan kepribadian santri-santrinya sebagai anak-anak bangsa, oleh karena itu pesantren memiliki peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh semua penghuni pesantren, demi terwujudnya tujuan pesantren itu sendiri. Pada makalah kali ini, pemakalah mengambil contoh peraturan yang ada pada pondok pesantren Lirboyo, Kediri, sebagai fokus pembahasannya. A. Apa pengertian peraturan? Peraturan adalah sesuatu yang harus ditaati sesuai dengan perintah yang telah ditetapkan yang harus dilaksanakan oleh siswa, apabila siswa melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi. Menurut Soejanto, peraturan adalah “peraturan tata tertib selalu dilengkapi dengan sanksi-sanksi tertentu, yang berpuncak kepada pemberian hukuman”. Adanya peraturan itu untuk menjamin kehidupan yang tertib dan tenang, sehingga kelangsungan hidup social itu dapat dicapai. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, Peraturan adalah ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalikan tingkah laku yang sesuai dan diterima setiap warga masyarakat harus menaati aturan yang berlaku; atau ukuran, kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau membandingkan sesuatu Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa peraturan adalah yang harus ditaati siswa/ santri untuk menjamin kehidupan yang tertib dan tenang, jika melakukan pelanggaran maka dikenakan sanksi.[1] Berkenaan dengan pondok pesantren, maka peraturan pondok pesantren adalah ketentuan yang digunakan untuk mengatur hubungan antar individu dalam pondok pesantren. B. Peraturan-peraturan pemerintah tentang pondok pesantren. Pesantren sebagai cikal bakal pendidikan yang asli Indonesia baru mendapat pengakuan yang yuridis pada tahun 2003 melalui UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Pada awal kemerdekaan Indonesia, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BPKNIP yang bertindak selaku lembaga parlemen saat itu, dalam butir-butir rekomendasinya tanggal 27 Desember 1945 tentang pembaharuan pendidikan, antara lan menyarankan “Madrasah-madrasah dan pesantren yang pada hakekatnya ialah satu alat dan sumber pendidikan dalam pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materil dari pemerintah.”[2] Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BPKNIP megusulkan agar pemerintah Indonesia mengambil kebijaksanaan dan langkah-langkah untuk memajukan pendidikan dan pengajaran, baik pada lembaga informal, non-formal maupun formal. Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya diusahakan agar pengajaran di langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan. Usulan tersebut diterbitkan pada tanggal 22 Desember 1945 dalam berita RI tahun II No. 4 dan 5 halaman 20 kolom 1.[3] Untuk memberikan kepastian tentang pengajaran agama, maka pada tahun 1946 dikeluarkan Penetapan Bersama antara Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan dengan Menteri Agama tertanggal 12 Desember 1946 No. 1285/K-7 agama dan 2 Desember 1946 No. 1142/Bhg. A Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama hanya dapat diberikan mulai kelas IV SR, sedangkan kelas I, II, III, pendidikan agama tidak boleh diberikan.[4] Setelah diadakan negosiasi antara Kementerian Agama yang diwakili Mahmud Yunus dan Kementerian PP dan K yang diwakili Hadi ditetapkan peraturan baru dengan nomor 1432/Kab. tanggal 20 Januari 1951 Pendidikan dan tanggal 20 januari 1951 Agama. Ketetapan yang berisi 10 pasal dan 1 pasal penutup ini menjelaskan pada pasal 2 ayat 1 bahwa di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama mulai di kelas 4, banyaknya 2 dua jam pelajaran dalam satu minggu; ayat 2 dilingkungan yang istimewa pendidikan agama dapat dimulai di kelas 1 dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah tidak boleh dikurangi dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah lainnya di lain-lain lingkungan.[5] Memasuki era reformasi, telah terjadi perubahan. Pasal 7 ayat 1 UU RI No. 22 Tahun 1999 atau pasal 10 ayat 3 UU RI No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa agama merupakan salah satu urusan yang tidak diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, pendidikan menurut pasal 11 ayat 2 UU RI No. 22 Tahun 1999 atau pasal 14 ayat 1 UU RI No. 32 Tahun 2004 merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Madrasah yang menurut UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 didefinisikan sebagai sekolah umum yang berciri khas islam, dapat diperdebatkan, apakah bagian dari agama ataukah pendidikan. Perdebatan itu dapat diketemukan solusinya dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Dalam UU yang disebutkan terakhir, lembaga pendidikan yang dimasukkan sebagai bagian dari agama adalah Pesantren dan Madrasah Diniyah, sementara madrasah sebagai sekolah umum berciri khas islam ternyata dimasukkan bagian dari pendidikan. Oleh karena itu, madrasah seharusnya diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah, sehingga berbagai kebijakan yang tidak adil antara lembaga pendidikan madrasah dan sekolah dapat diminimalisir. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, semestinya pesantren telah mendapatkan beberapa kemudahan. Melalui SKB Dua Menteri Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 para santri di pesantren salafiyah yang berusia 7-15 tahun yang mengikuti pendidikan Diniyah Awaliyah tingkat dasar dan Diniyah Wustho tingkat lanjutan pertama, yang tidak sedang menempuh pendidikan pada SD/MI dan SLTP/MTs atau bukan pula tamatan keduanya, dapat diakui memiliki kemampuan yang setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bila pesantren tersebut menambah beberapa mata pelajaran umum minimal 3 mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Ini berdasarkan Bab II tentang Kurikulum dan Evaluasi pasal 4 ayat 1 dan 2 Keputusan Bersama Dirjen Bagais Depag RI dan Dirjen Dikdasmen Diknas Nomor E/83/2000 dan Nomor 166/c/Kep./Ds/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Dan STTB atau Ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren penyelenggara program ini diakui oleh pemerintah setara dengan STTB SD/MI atau SLTP/MTs dan dapat dipergunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan syarat yang akan diatur oleh departemen terkait. Dan mengenai hal ini, berdasarkan Keputusan Bersama Dirjen Bagais Depag RI dan Dirjen Dikdasmen Diknas Nomor E/83/2000 dan Nomor 166/c/Kep./Ds/2000 pasal 5 ayat 4 sebagai tindak lanjut ketentuan ini telah ditetapkan oleh Dirjen Bagais Depag RI dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Nomor dan 6016/G/HK2003 tentang Ujian Akhir Nasional Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah tertanggal 18 November 2003. Selanjutnya, Dirjen Bagais Depag RI menetapkan SK Nomor tentang Penerbitan Ijazah pada Pondok Pesantren Salafiyah PPS Penyelenggara Program Wajar Diknas tertanggal 19 November 2003.[6] Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Beberapa pasal dari Peraturan Pemerintah ini pada dasarnya menguatkan berbagai keputusan yang telah ditetapkan oleh Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional sebelumnya. Ayat 1 Pasal 11 Bab III, menjelaskan bahwa peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di SD, MI, SMP, MTs, SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan. Ayat 2 dari pasal 11 menjelaskan bahwa hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Sedangkan ayat 3 adalah peserta didk pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan dan jenis pendidikan yang lainnya. a. Peraturan-peraturan/kebijakan internal pondok pesantren. Peraturan-peraturan/kebijakan internal pondok pesantren memang tidak dapat diformulasikan sebagai peraturan yang baku atau menyeluruh bagi setiap pondok pesantren. Karena masing-masing pondok pesantren mempunyai kultur/budaya dan karakter yang berbeda-beda dan hal tersebut sepenuhnya adalah hak masing-masing pondok pesantren dalam mengatur manage internal lembaganya. Maka dari itu tak ada aturan yang seragam untuk pondok pesantren. Peraturan-peraturan/kebijakan internal pondok pesantren secara umum menyangkut manajemen pondok pesantren dan peraturan yang berkaitan dengan tata tertib santri. Pada dasarnya manajemen pondok pesantren yakni seputar administrasi pondok pesantren. Sedangkan tentang tata tertib menjadi peraturan yang harus dan wajib dipatuhi dan ditaati oleh semua santri. Inti dari diberlakukannya tata tertib pondok pesantren adalah mendidik dan membiasakan para santri untuk berlaku disiplin, kesopanan, keteraturan, pengembangan diri dan membawa pengaruh positif bagi para santri. Mengingat tujuan utama pondok pesantren adalah 1 menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fid-din, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia, kemudian diikuti dengan tugas 2 dakwah menyebarkan agama Islam dan 3 benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak. Sejalan dengan hal inilah, materi yang diajarkan di pondok pesantren semuanya terdiri dari materi agama yang langsung dgali dari kitab klasik yang berbahasa arab. Akibat perkembangan zaman dan tuntutannya, tujuan pondok pesantren pun bertambah dikarenakan peranannya yang signifikan, tujuan itu adalah 4 berupaya meningkatkan pengembangan masyarakat di berbagai sektor kehidupan. Namun sesungguhnya, tiga tujuan terakhir adalah menifestasi dari hasil yang dicapai pada tujuan pertama, tafaqquh fiddin. Tujuan ini pun semakin berkembang sesuai dengan tuntutan yang ada pada saat pondok pesantren itu didirikan.[7]Terkait dengan peraturan tata tertib pondok pesantren, tentunya dilandasi dan sejalan dengan tujuan tersebut. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat4, Pasal 30 ayat 5, dan Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan; Mengingat 1. Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301; 3. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727; M E M U T U S K A N Menetapkan PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN AGAMA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan 1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. 2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. 3. Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan. 4. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya. 5. Pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal. 6. Pesantian adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda. 7. Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal. 8. Shuyuan adalah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing. 9. Tempat pendidikan agama adalah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan agama. 10. Rumah ibadah adalah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat beribadah warga satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum. 11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. 12. Menteri Agama adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN Pendidikan Diniyah Nonformal Pasal 21 1. Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al-Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. 2. Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berbentuk satuan pendidikan. 3. Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan. Pasal 22 1. Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam. 2. Penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang. 3. Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat. Pasal 23 1. Majelis Taklim atau nama lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta. 2. Kurikulum Majelis Taklim bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta akhlak mulia. 3. Majelis Taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat. Pasal 26 1. Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam mutafaqqih fiddin dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat. 2. Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi. 3. Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan adalah cara membangun norma masyarakat sebagai pedoman agar manusia hidup tertib dan teratur. Peraturan merupakan salah satu bentuk keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jadi, kita harus menaati peraturan agar semua menjadi teratur dan orang akan merasa nyaman. Pembentukan manusia seutuhnya merupakan tujuan pendidikan yang diamanahkan Undang-Undang Pendidikan Nasional, UU sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 mengamanahkan bahwa fungsi pendidikan adalah kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan adalah untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana amanah UU sisdiknas nomor 20 Tahun 2003 merupakan amanah yang harus dijalankan dan dipenuhi oleh lembaga pendidikan di Indonesia, termasuk juga pesantren di dalamnya. Mau tidak mau, pesantren harus dapat menjalankan fungsi dan tujuan pendidikan yang telah diamanatkan undang-undang pendidikan, sebab pesantren telah menjadi bahagian dari sistem pendidikan Nasional. Pasal 30 UU sisdiknas menyebutkan bahwa “Pendidikan keagamaan berbetuk pendidikan Diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lainnya yang sejenis”. Peraturan adalah ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalikan tingkah laku yang sesuai dan diterima. Telah ada beberapa peraturan tentang pesantren. Namun pengakuan secara sah baru muncul pasca reformasi dan kini pondok pesantren mendapatkan pengakuan secara yuridis dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan keagamaan. . Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari makalah yang kami paparkan terdapat kekurangan-kekurangan, karena kami menyadari kesempurnaan hanyalah milik-Nya. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.. [1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan modernisasi menju milenium baru, Jakarta Logos, 2002, hlm 34-35 [2] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta, 2003, hlm. 13. [3]Abdurrahman Shaleh, Penyelenggaraan Madrasah; Peraturan Perundangan, Jakarta Dharma Bhakti, 1984, hlm. 19. [4]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta Mutiara Sumber Widya, 1995, hlm. 357. [5]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta Raja Wali, 1996, hlm. 235-239. [6]Dr. Ali Anwar, M. Ag., Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 51. [7]Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta, 2003, hlm. 9.

Dalamsejarah perkembangan pesantren, disebutkan pula bahwa mulanya pondok pesantren masih berbentuk surau, dan yang pertamakali membuka pendidikan formal adalah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921, sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1919 menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada tahun 1926 (Zuhairini, 2002).

Pondhok pesantrèn Tebu Ireng From Wikipedia, the free encyclopedia Pesantren Tebu Ireng ya iku salah siji pondok pesantrèn kang gedhé ing Jombang, Jawa Wétan.[1] Pesantrèn iki diadegké déning Kyai Hasyim Asy'ari nalika taun 1899.[1] Kejaba wulangan bab agama Islam, ngèlmu saréngat, lan basa Arab, wulangan umum uga kalebu ing struktur kurikulum pengajarané.[1] Pesantrèn Tebu Ireng wis akèh mènèhi konstribusi dan sumbangan karo masarakat, kang mligi ing bab pendidikan Islam ing Indonésia.[1] Quick facts Pondok Pesantren Tebuireng, Diadegaké, Jenis,... ▼ Pondok Pesantren TebuirengBarkas KH. Solahuddin Wahid Gus SolahLokasi Jombang, Jawa WétanSitus
Merekamengaji tahlil menjelang persiapan pemakaman pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, KH.Salahuddin Wahid. "Aktivitas santri di Pondok Pesantren Tebu Ireng kini diliburkan untuk sementara," ujar Mundir Pembinaan Pesantren Ponpes Tebuireng, Jombang, Lukman Hakim, Senin (3/2/).. Untuk sementara, aktivitas kawasan makam juga dibatasi untuk persiapan pemakaman almarhum Gus Sholah yang akan
Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Nama pedukuhan seluas 25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh Kiai penuturan masyarakat sekitar, nama Tebuireng berasal dari kata ”kebo ireng” kerbau hitam. Konon, ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning. Suatu hari, kerbau tersebut menghilang dan setelah dicari kian kemari, kerbau itu ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula berwarna kuning kini berubah menjadi hitam. Peristiwa ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak ”kebo ireng …! kebo ireng …!” Sejak sat itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.[1] Pada perkembangan selanjutnya, ketika penduduk dusun tersebut mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti kapan perubahan itu terjadi dan apakah hal itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut, yang banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu? Karena ada kemungkinan, karena tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun tersebut berubah nama menjadi Tebuireng. Berdirinya Pesantren Tebuireng Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing terutama pabrik gula. Bila dilihat dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut memang menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja. Akan tetapi secara psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum siap menghadapi industrialisasi. Mereka belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik. Upah yang mereka terima biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif-hedonis. Budaya judi dan minum minuman keras pun menjadi tradisi. Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat yang amat jauh dari nilai-nilai agama. Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M., Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu Jawa tratak, berukuran 6 X 8 meter.[2] Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat salat mushalla. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang,[3] dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang. Kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng tidak langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga ancaman datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, para santripun sering diteror. Teror itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. Bentuknya beraneka ragam. Ada yang berupa pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak. Para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan, karena takut tertusuk benda tajam. Gangguan juga dilakukan di luar pondok, dengan mengancam para santri agar meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun, sehingga para santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran. Ketika gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktifitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menamui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan. Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat. Selain dikenal memiliki ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli di bidang pertanian, pertanahan, dan produktif dalam menulis. Karena itu, Kiai Hasyim menjadi figur yang amat dibutuhkan masyarakat sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Ketika seorang anak majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan Belanda, sakit parah dan kritis, kemudian dimintakan air do’a kepada Kiai Hasyim, anak tersebut pun sembuh. Luasnya pengaruh Kiai Hasyim Dengan tumbuhnya pengakuan masyarakat, para santri yang datang berguru kepada Kiai Hasyim bertambah banyak dan datang dari berbagai daerah baik di Jawa maupun Madura. Bermula dari 28 orang santri pada tahun 1899, kemudian menjadi 200 orang pada tahun 1910, dan 10 tahun berikutnya melonjak menjadi 2000-an orang, sebagian di antaranya berasal dari Malaysia dan Singapura. Pembangunan dan perluasan pondok pun ditingkatkan, termasuk peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai kitab kuning. Kiai Hasyim mendidik santri dengan sabar dan telaten. Beliau memusatkan perhatiannya pada usaha mendidik santri sampai sempurna menyeleseaikan pelajarannya, untuk kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing. Beliau juga ikut aktif membantu pendirian pesantren-pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya, seperti Pesantren Lasem Rembang, Jawa Tengah, Darul Ulum Peterongan, Jombang, Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang, Lirboyo Kediri, Salafiyah-Syafi’iyah Asembagus, Situbondo, Nurul Jadid Paiton Probolinggo, dan lain sebagainya. Pada masa pemerintahan Jepang, tepatnya tahun 1942, Sambu Beppang Gestapo Jepang berhasil menyusun data jumlah kiai dan ulama di Pulau Jawa. Ketika itu jumlahnya mencapai orang, dan mereka rata-rata pernah menjadi santri di Tebuireng. Hal ini menunjukkan batapa basar pengaruh Pesantren Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad ke-20. Karena kemasyhurannya, para kiai di tanah Jawa mempersembahkan gelar ”Hadratusy Syeikh” yang artinya ”Tuan Guru Besar” kepada Kiai Hasyim. Beliau semakin dianggap keramat, manakala Kiai Kholil Bangkalan yang dikeramatkan oleh para kiai di seluruh tanah Jawa-Madura, sebelum wafatnya tahun 1926, telah memberi sinyal bahwa Kiai Hasyim adalah pewaris kekeramatannya. Diantara sinyal itu ialah ketika Kiai Kholil secara diam-diam hadir di Tebuireng untuk mendengarkan pengajian kitab hadis Bukhari-Muslim yang disampaikan Kiai Hasyim. Kehadiran Kiai Kholil dalam pengajian tersebut dinilai sebagai petunjuk bahwa setelah meninggalnya Kiai Kholil, para Kiai di Jawa-Madura diisyaratkan untuk berguru kepada Kiai Hasyim. Bisa dikatakan, Pesantren Tebuireng pada masa Kiai Hasyim merupakan pusatnya pesantren di tanah Jawa. Dan Kiai Hasyim merupakan kiainya para kiai. Terbukti, ketika bulan Ramadhan tiba, para kiai dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura datang ke Tebuireng untuk ikut berpuasa dan mengaji Kitab Shahih Bukhari-Muslim. Keberadaan Pesantren Tebuireng akhirnya berimplikasi pada perubahan sikap dan kebiasaan hidup masyarakat sekitar. Bahkan dalam perkembangannya, Pesantren Tebuireng tidak saja dianggap sebagai pusat pendidikan keagamaan, melainkan juga sebagai pusat kegiatan politik menentang penjajah. Dari pesantren Tebuireng lahir partai-partai besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulam NU, Masyumi Majelis Syuro A’la Indonesia, Majelis Islam A’la Indonesia MIAI, serta laskar-laskar perjuangan seperti Sabilillah, Hizbullah, dsb. Pada awal berdirinya, materi pelajaran yang diajarkan di Tebuireng hanya berupa materi keagamaan dengan sistem sorogan[4] dan bandongan..[5] Namun seiring perkembangan waktu, sistem pengajaran secara bertahap dibenahi, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi, lalu pengenalan sistem klasikal madrasah tahun 1919, kemudian pendirian Madrasah Nidzamiyah yang di dalamnya diajarkan materi pengetahuan umum, tahun 1933. Tebuireng Sekarang Menapaki akhir abad ke-20, Pesantren Tebuireng menambah beberapa unit pendidikan, seperti Madrasah Tsanawiyah MTs, Madrasah Aliyah MA, Sekolah Menengah Pertama SMP, Sekolah Menengah Atas SMA, hingga Universitas Hasyim Asy’ari UNHASY, kini IKAHA. Bahkan unit-unit tersebut kini ditambah lagi dengan Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan Ma’had Aly, disamping unit-unit penunjang lainnya seperti Unit Penerbitan Buku dan Majalah, Unit Koperasi, Unit Pengolahan Sampah, Poliklinik, Unit Penjamin Mutu, unit perpustakaan, dan lain sebagainya akan dijelaskan kemudian. Semua unit tersebut selain UNHASY, merupakan ikon dari eksistensi Pesantren Tebuireng sekarang. Secara geografis, letak Pesantren Tebuireng cukup strategis, karena berada di tepi jalan raya Jombang-Malang dan Jombang-Kediri. Lalu lintas yang melewati Desa Cukir terbagi dalam tiga jalur. Pertama jalur utara-barat daya yang merupakan lintasan dari kota Jombang menuju Kediri-Tulungagung-Trenggalek melewati Pare. Kedua adalah jalur utara-tenggara yang merupakan lintasan dari kota Jombang menuju Malang melalui kota Batu. Ketiga ialah jalur barat-timur yang merupakan lintasan dari Desa Cukir menuju Kecamatan Mojowarno. Mencari kendaraan umum tidak terlalu sulit di desa ini, karena hampir setiap 2-3 menit sekali, ada mikrolet yang lewat. Pada jalur pertama dan kedua tidak hanya dilalui mikrolet sebagaimana jalur ketiga, melainkan juga dilalui bus dan truk angkutan barang dari Surabaya-Kediri-Tulungagung-Trenggalek lewat Jombang dan Pare. Kondisi seperti ini sudah tampak sejak awal tahun 1990-an, sebagaimana hasil penelitian Imron Arifin 1993. Pada awal tahun 1900-an, penduduk Tebuireng rata-rata berprofesi sebagai petani dan pedagang. Namun sekarang keadaannya sudah berbeda. Mayoritas penduduk Tebuireng kini bekerja sebagai pedagang, pegawai pemerintah dan swasta, dan sebagian lagi berprofesi sebagai guru. Jarang sekali yang berprofesi sebagai petani. Penduduknya rata-rata memiliki sepeda motor. Rumah mereka sudah tergolong bagus, tidak ada lagi yang terbuat dari anyaman bambu gedek seperti pada awal pendirian Pesantren Tebuireng. Pesawat TV yang dulu hanya dimiliki oleh sebagian pegawai Pabrik Gula Tjoekir, kini sudah menghiasi setiap rumah penduduk. Banyak diantara mereka sudah memiliki mobil dan komputer. Ketika buku ini ditulis, suasana sehari-hari di Dukuh Tebuireng lebih ramai dibanding dengan kota kecamatannya, Diwek. Keberadaan Pabrik Gula Tjoekir, Pasar Cukir, Puskesmas dan poliklinik yang melayani rawat-inap, keberadaan Kantor Pos, bank-bank swasta dan pemerintah yang dilengkapi ATM, mengudaranya beberapa pemancar radio, serta banyaknya mini market, toko-toko kelontong, warung-warung dan kedai-kedai yang berjejer di sepanjang jalan, membuat kawasan ini selalu ramai dengan beragam aktivitas. Semaraknya suasana Tebuireng dan sekitarnya, ditopang oleh keberadaan pesantren-pesantren yang tersebar di hampir setiap sudut desa. Suasana kahidupan pesantren sangat terasa di kawasan ini. Setiap hari, orang-orang bersarung, berpeci, dan berjilbab, berlalu-lalang di sekitar jalan raya. Bila lebaran tiba, kawasan Tebuireng dan sekitarnya menjadi sepi karena para santri/siswa pulang kampung mudik. Ini membuktikan bahwa keberadaan santri/siswa merupakan faktor utama yang membuat semarak kehidupan di Tebuireng dan sekitarnya. *** Dari uraian di muka, terlihat jelas bahwa Pesantren Tebuireng memiliki peran yang sangat signifikan, sejak awal berdirinya hingga sekarang. Peran itu dimulai dari perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, perjuangan menyebarkan ajaran agama dan mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan ekonomi masyarakat dan penguatan civil society. Banyaknya kader-kader terbaik bangsa yang lahir dari lembaga ini, juga merupakan bukti bahwa Pesantren Tebuireng tidak pernah lelah berjuang. Peran vital itu semakin dikukuhkan dengan keikutsertaan para pengasuh dan alumninya dalam percaturan politik nasional. Dua orang tokohnya, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Keduanya juga merupakan tokoh pendiri dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Salah seorang keturunan Kiai Hasyim, yaitu KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur, pernah menjadi presiden keempat Republik Indonesia. Karena itu, tidak berlebihan kiranya bila sebagian masyarakat menyebut Tebuireng sebagai ”Pesantren Perjuangan”. ___________ Versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng berawal dari pemberian nama oleh seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut. Tanggal pendirian tratak ini dicatat sebagai awal berdirinya Pesantren Tebuireng. Konon, kedelapan orang santri itu dibawa oleh Kiai Hasyim dari pesantren Keras asuhan Kiai Asy’ari. Metode sorogan diterapkan baik bagi santri pemula maupun bagi santri senior. Untuk santri pemula, dilakukan dengan cara maju satu persatu dan menyodorkan kitabnya masing-masing. Lantas gurunya membacakan salah satu kalimat dalam bahasa Arab, kemudian menerjemahkan dalam bahasa setempat dan menerangkan maksudnya. Santri yang mengaji diharuskan menyimak kitabnya sambil memberi tanda tertentu pada kalimat yang baru dibacakan. Metode sorogan untuk pemula ini biasanya dilaksanakan oleh santri senior pembantu Kiai, yang disebut qori’ atau badal. Sedang untuk santri senior, metode sorogan lazim diterapkan untuk pengajian yang bersifat khusus. Caranya, santri yang bersangkutan menghadap kiai sambil membawa kitab yang akan dibaca. Kiai hanya tinggal menyimak dan meluruskan bacaan yang salah, serta memberikan komentar bila diperlukan. Metode ini cukup efektif untuk memacu kemajuan santri dalam hal penguasaan kitab klasik.
OTHERPLACES NEAR PONDOK PESANTREN TEBU IRENG, JOMBANG JATIM. Pondok Pesantren Tebu Ireng, jombang jatim. 0.00 Miles Away; Kawasan Racing Balongpanggang 0.07 Miles Away; Pom bensin,balongpanggang 0.08 Miles Away; Pasar Hewan 0.08 Miles Away; Sdn Delik Sumberbenjeng 0.09 Miles Away; Kampus Cruew 81 – informasi mengenai persyaratan guna pendirian pondok pesantren di Kementerian Agama beserta ketentuan syarat serta administrasi dan kelengkapan bangunan termasuk keberadaan kyai dan jumlah minimal santri. Dalam persyaratan pendirian pondok pesantren ini mengacu kepada KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM NOMOR 3408 TAHUN 2018 TENTANG PETUNJUK TEKNIS IZIN OPERASIONAL PONDOK PESANTREN. SK ini berfungsi sebagai pedoman izin pendirian pondok pesantren yang berbentuk Izin Operasional. saat ini persyaratan dimaksud sudah tidak berlaku dan digantikan dengan persyaratan yang ada dalam KMA terbaru, silakan anda baca ketentuan anyar pada Syarat Pendirian Pondok Pesantren menurut PMA no 30 tahun 2020 syarat-kelembagaan-pendirian-pondok-pesantren Selain sebagai patokan dalam aturan pendirian, juga termaktub tentang cara perpanjangan beserta proses pencabutan izin operasional yang telah dikeluarkan akan tetapi di perjalanan waktu lembaga diketahui tidak memenuhi syarat baik karena adanya aduan masyarakat ataupun hasil pantauan pihak Kemenag Persyarat Lembaga Untuk lembaga pondok pesantren, ada ketentuan dan batasan yang sudah digariskan mengenai berapa jumlah minimal santri, keberadaan kyai, mushola/masjid/tempat ibadah maupun asrama. Untuk lebih lengkapnya persyaratan secara kepondokan adalah sebagai berikut Izin operasional pondok pesantren dapat diberikan kepada lembaga yang memenuhi persyaratan 1. Menyelenggarakan pondok pesantren; 2. Memiliki unsur pesantren arkanul ma’had yang meliputi kyai atau sebutan lain sejenis, santri mukim minial 15 orang, pondok atau asrama pesantren, masjid atau mushalla, memiliki kajian kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin. 3. bukti kepemilikan tanah milik atau wakaf sesuai kedudukan pesantren, atas nama pengasuh pesantren atau lembaga/yayasan 4. akta notaris berikut keputusan pengesahan dari khusus bagi bagi pesantren sebagai penyelenggara pendidikan semisal MTs, MI SLTP PPS Wajardikdas dll, nomor pokok wajib pajak 5. NPWP yang masih berlaku khusus bagi bagi pesantren sebagai penyelenggara pendidikan semisal paket B, Madrasah Aliyah Ma’had Aly dll. 6. Mengembangkan jiwa atau karakteristik pesantren ruhul ma’had yang meliputi Jiwa NKRI dan Nasionalisme, Jiwa Keilmuan, Jiwa Keikhlasan, Jiwa Kesederhanaan, Jiwa Ukhuwah/Persaudaraan, Jiwa Tolong-Menolong/ta’awan ala al-birri wa al-taqwa, Jiwa Kemandirian, Jiwa Bebas, dan Jiwa Keseimbangan. 7. Berkomitmen dalam pencapaian tujuan umum pesantren yang sejalan dengan visi, misi, dan tujuan pembangunan nasional. Syarat administrasi dan dokumen pengajuan proposal kelengkapan-administrasi-pendirian-pondok-pesantren Adapun persyaratan administrasi yang perlu dilampirkan pada saat mengajukan pendirian ke Kantor Kementerian Agama adalah a. Asli Surat Permohonan Izin Operasional Pondok Pesantren yang ditandatangani oleh kyai/pengasuh pesantren. b. Asli Formulir Pengajuan Izin Operasional Pondok Pesantren yang telah diisi lengkap dan ditandatangani oleh kyai/pengasuh pesantren. c. Asli Surat Pernyataan yang menyatakan komitmen untuk menyelenggarakan pondok pesantren sekurangnya sebagaimana ketentuan umum. d. Salinan bukti kepemilikan tanah milik atau wakaf sesuai kedudukan pesantren, atas nama pengasuh pesantren atau lembaga/yayasan yang mengusulkan izin operasional pondok pesantren. e. Asli surat keterangan domisili dari kantor kelurahan/desa sesuai dengan kedudukan pesantren. f. Khusus bagi pesantren sebagai penyelenggara pendidikan, memiliki legalitas hukum yang sah baik berupa yayasan atau lainnya yang dibuktikan dengan akta notaris berikut keputusan pengesahan dari kementerian yang berwenang, serta nomor pokok wajib pajak NPWP yang masih berlaku yang salinannya juga disertakan sebagai bagian dari Dokumen Pengusulan. Selanjutnya setelah semua persyaratan baik dari segi kondisi fisik dan situasi pondok pesantren dan dokumen pengajuan lengkap, dibawa ke Kantor Kementerian Agama guna ditindaklanjuti proses sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Demikian persyaratan mengenai pendirian pondok pesantren yang jika disetujui pendiriannya akan mendapatkan izin operasional, nomor statistik serta piagam. Demikian semoga ada manfaatnya. utWS.
  • znn7ooty9o.pages.dev/398
  • znn7ooty9o.pages.dev/40
  • znn7ooty9o.pages.dev/258
  • znn7ooty9o.pages.dev/260
  • znn7ooty9o.pages.dev/92
  • znn7ooty9o.pages.dev/54
  • znn7ooty9o.pages.dev/110
  • znn7ooty9o.pages.dev/52
  • znn7ooty9o.pages.dev/325
  • peraturan pondok pesantren tebu ireng